Rabu, 21 November 2007

"Reunifikasi" Sunda

Sunda Dalam Gelak Tawa

Bila dapat diketahui sejarah Sunda tempo dulu, mungkin ada satu peratanyaan yang hendak diajukan. Siapa saja yang ingin menjawab, baik itu Badan Pusat Statistik (BPS) bagian Sensus Populasi Penduduk, sejarahwan atau cendikiawan. Berapakah jumlah penduduk masyarakat Jawa Barat (Jabar) suku Sunda pada masa kerajaan Tarumanegara atau Pajajaran berkuasa?

“Sunda”, entah dari mana kata itu muncul. Konon Sunda berasal dari sebuah prasasti kuno di desa Kebon Kopi Bogor Jawa Barat yang menyatakan bahwa dalam prasasti itu bertuliskan seorang raja yang bernama “Sunda”. Di samping itu ada yang berpendapat bahwa kata “Sunda” berasal dari Kediri Jawa Timur, sebagaimana penuturan dalam sejarah.

Bahkan, ada yang mengatakan bahwa “Sunda” itu sama dengan penamaan terhadap nusantara atau untuk Rumpun Melayu yang meliputi beberapa pulau, sebagaimana yang pernah dicita-citakan patih Gajah Mada kerajaan Majapahit saat Raja Hayam Wuruk berkuasa. Tapi jelasnya, Sunda terletak tepat di pulau Jawa, memiliki keaneka-ragaman (kekayaan) budaya, alam yang subur dan terutama lagi ciri khas dialek bahasa.

Bersamaan dengan (penamaan kata “Sunda”) itu, di kalangan masyarakat Sunda, muncul berbagai cerita yang melegenda, seperti tentang tokoh Prabu Mundinglaya, Sangkuriang, Lutung Kasarung, si Kabayan dan lain-lain. Konon, tokoh-tokoh legendaris itu, mempunyai keunikan perilaku dan sikapnya sehingga membuat menggelitik gelak tawa pendengarnya. Bahkan dikatakan tokoh-tokoh legendaris Sunda itu mempunyai kesaktian luar biasa. Tokoh yang tersebut terakhir itu, sebagian masyarakat bahkan mempercayai mempunyai banyak makam (kuburan).

Dalam cerita pewayangan dituturkan bahwa sang raja yang sombong Rahwana meninggal oleh kera putih yang sakti karena diapit dua gunung, Somala dan Somali serta darahnya mengucur di sungai Cimandiri Sukabumi.

Dituturkan pula bahwa prabu Siliwangi raja Pajajaran yang mashur itu mempunyai seorang putera yang gagah perkasa, sakti mantra guna bernama Kian Santang. Ia pernah melanglang-buana mencari seorang musuh hingga ke negeri Arabia, karena di Nusantara sudah tak ada lagi yang mampu menandingi kehebatannya. Konon di negeri padang pasir itu, Ia mencari orang yang sangat gagah perkasa bernama Sayyidina Ali.

Jika cerita itu benar, maka Kian Santang berhadapan dengan Khalifah ke-IV dari Khulafurrasyidin yang menurut umat Islam sebagai penerus jejak Nabi terakhir Muhammad Saw. Sebagian kalangan umat Islam mengatakan bahwa Ali r.a. adalah kuncinya ilmu. Tapi, satu versi mengatakan bahwa Kian Santang berhadapan dengan Syeikh Ali.

Peradaban Sunda meman sangat misterius karena banyak menyimpan cerita-cerita kuno yang membuat teka-teki sejarawan, seiring dengan lenyapnya berkas-berkas peninggalan letak kraton kerajaan Pajajaran atau lebih jauh Tarumanegara, saat raja Mulawarman berkuasa.

Berbeda dengan bekas-bekas peninggalan kerajaan-kerajaan lain, misalnya di Jawa Tengah atau Jawa Timur yang masih mempunyai bangunan-bangunan peninggalan kuno sejarah masa silam. Walau pun sebagian bekas peninggalan sejarah peradaban Sunda ada masih dapat terlihat hingga kini, mungkin hanya berada di wilayah Cirebon bekas kerajaan yang sudah masuk Islam.

Memang sejarah sunda tak lepas dari nuansa politik yang cukup kuat, karena sejak zaman Hindia-Belanda berkas-berkas peninggalan Sunda, termasuk manuskrip tulisan-tulisan mengenai kesundaan telah diangkut oleh pemerintah kekuasaan Hindia-Belanda ke negeri asalnya di Belanda.

Tak jarang kalangan pendidikan yang ingin melanjutkan studi dalam sastra dan budaya Sunda harus menempuh pendidikan di negeri Belanda hanya sekedar untuk mempelajari Sunda. Ketika Jepang mengusir Belanda dari pemerintahan Hindia-Belanda (kini Indonesia) sempat menjadikan Jawa Barat, khususnya Bandung sebagai benteng terakhir kekuasaannya.

Oleh karena itu, apakah dengan demikian bisa dibenarkan ketika orang mengatakan bahwa Sunda identik dengan tanah yang selalu terjajah, misalkan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah atau pemerintah Hindia_Belanda? Atau kekayaan peradaban sejarah Sunda masa silam belum terungkap jelas dan hanya tersirat dalam cerita-cerita kuno masyarakat dan dari orang-orang tua?

Sinkretisme Gaya Bahasa

Karena Sunda mempunyai khas gaya yang berbeda-beda, hal itu dapat menjadi potensi dari keragaman khas masing-masing dalam memahami dan memaklumi satu sama lain masyarakat Sunda, baik tradisi, bahasa dan perilaku.

Ketika orang Bandung yang cenderung gaya bicara dan bahasanya “halus” datang ke Bogor yang gaya bahasanya agak sedikit “keras”, orang Bogor akan tersenyum dan kagum. Bahkan, dengan bersikap akrab mengolok-olok gaya bahasa orang Bandung itu.

Lalu, bagaimana kalau (gaya bahasa) orang Bandung merampok? Mungkin akan terbayang, “serahkeun eta artos, upami teu diserahkeun ieu peso (pisau) leubet kana patuangan anjeun”.

Gaya (bahasa) demikian sudah barang tentu bagi orang Bogor ibarat sebuah lelucon dan membuat ketawa orang Sunda yang memakai bahasa lumayan “keras”. Dengan gaya itu, orang Bogor beranggapan bahwa untuk menggertak harus dengan gaya bahasa yang lebih “keras” dan menyeramkan.

Begitu pula ketika orang Bogor datang ke Bandung. Orang Bandung akan kaget dan heran, namun pada akhirnya tersenyum ketika orang Bogor berbincang-bincang di dalam sebuah bus dengan nada keras dan disangka penumpang lain asal Bandung ada orang sedang ribut mau berkelahi. Padahal, ternyata kedua orang Bogor itu adalah teman akrab. Percakapan kedua orang Bogor itu biasa dan wajar-wajar saja bagi orang yang mengerti akan budaya dan bahasa, khususnya yang berbahasa agak “keras”, seperti Bogor dan Banten.

Bahkan, kalau melihat dari faktor alamnya, orang Sunda memiliki karakteristik gaya bahasa yang “keras”, karena melingkupi sederetan kawasan pegunungan.

Dialek bahasa orang Sunda memang unik dan aneh-aneh. Ada yang intonasinya berkelok-kelok, seperti orang sedang bernyanyi. Perhatikan kalau orang Sunda bertutur, awalan dan akhiran dialek tutur katanya beraneka lagam, seperti “aning”, “atuh” (Talaga Majelengka), “beu” (Pandeglang) “nggeh” (Kuningan) akhiran “heeh” (Bogor), “ning” (bahasa wewengkon Sukabumi) dan aneka lagam intonasi lainnya.

Bahkan, terdengar di sebuah desa Situdaun Ciampea Bogor hanya terpisahkan aliran sungai berjarak kira-kira ukuran 20 meter dengan desa tetangganya Cibitung, nampak perbedaan yang mencolok bila memperhatikan gaya bahasanya. Antara desa Cibitung yang seperti tak memiliki gaya bahasa lengkungan dan desa Situdaun yang mempunyai lekungan-lekungan yang menggayut seperti, “hejo-hejo oge kacapi dauuuuuun”, “itu hujan geus mondoyoooooot”. Dengan akhir perkataan yang memanjang dan melengkung sebagai pertanda kalimat itu selesai atau memerlukan jawaban lagi.

Di daerah Raja Galuh Majalengka terdapat gaya bahasa seperti, “hai! tos di maraanaaaaa”. Di daerah Kadu Betus Menes Pandeglang seperti “kamaranaaaaaa tuh? kadarieuuuuuu yeuh!”.

Entah yang membuat perbedaan apakah itu air, suhu udara, ketinggian tanah atau yang lainnya? Hal ini, belum sedikit pun tersentuh oleh kalangan peneliti, terutama bahasa. Walaupun ada hanya sebatas penelitian imbuhan “suffiks” atau “effiks” dalam kata “ra” seperti “raramean” untuk “jamak” yang menjadi ciri khas yang berbeda dengan bahasa melayu lainnya.

Ekonomi

Seorang tukang jamu menggendong sekeranjang minuman obat-obatan tradisional menjajaki perkampungan kecil suku sunda.

“Jamu maas”, tawar penjajak jamu dari Jawa.

Seorang santri Sunda sedang duduk bersama kakek-kakek di depan warung kecil berbincang-bincang. Santri itu bertanya kepada “mbok jamu” dengan bahasa Sunda.

“Aya jamu kuat iman jeung rajin sholat mbok, tuluy mun jamu awet ngora aya?”, tanya santri.

Mbok jamu menghampiri kedua orang itu, lalu tersenyum dan ikut dalam perbincangan babak baru dengan menawarkan jamu-jamu yang digendongnya.

“Badde anu mana, aya jjamu peggel llinu, aya maddu, pokokkna mah maccem-maccem lah. Rasanya ogge aya anu ppait aya anu amis, tterserah hoyong anu manna”, kata mbok jamu.

“tapi kuring mah hayang jamu awet-rajet”, timpal kakek-kakek.

Tukang jamu mencoba berdialog dengan bahasa daerah Sunda untuk menarik simpati pembeli.

Ia mengatakan, “abbdi mah dda tos laami ciccing di ddieu teh, jaddi ttos tteu bbissa deeui jjeung teu ka cciri ddeui bbahasa jjawa na teeh”, kata “mbok” jamu dengan bahasa Sunda dan lantunan dialek Jawa yang kental.

Ooh kiitu “mbok”, kata kedua orang itu sambil tertawa terbahak-bahak, karena mendengarkan “si mbok” yang memakai bahasa Sunda campur dialek Jawa.

Banyak di antara orang-orang dari suku Jawa yang berdagang di suku Sunda telah lama menetap, bahkan tak sedikit yang sudah mempunyai keluarga (campuran Sunda-Jawa). Di suatu perkampungan daerah Bogor ada sedikitnya 30% suku Sunda perkawinan hasil campuran dengan suku Jawa.

Ketika orang Sunda mendatangi daerah Jawa di Yogyakarta, misalkan saja datang berbelanja membeli Gudeg Jogja di sepanjang Jalan Malioboro, kemudian menawarkan harga makanan itu, karena tukang Gudeg Yogya itu tahu bahwa pembeli tak memakai bahasa daerahnya Maka, Ia menawarkan harga yang relatif mahal kepada orang yang tak memakai bahasa Jawa.

Bahkan, konon di Palasari Bandung, kalau kita mau berbelanja buku lebih murah, lebih baik memakai bahasa Padang atau ditemani orang yang dapat berbahasa Padang karena kebanyakan pedagang-pedagang buku murah di Palasari adalah orang-orang Padang.

Dengan demikian, apakah bahasa dapat menjadi salah satu penentu dalam sosial ekonomi dan bukan karena ekonomi itu sendiri?